MAKALAH KABINET ZAKEN
Bila Kalian ingin makalah ini berbentuk Microsoft kalain tinggal downlaod aja disini
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Sejarah Indonesia
(Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”).
Makalah Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”)
ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran Sejarah
Indonesia.
Tersusunnya Makalah Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda
“Zaken Kabinet”) ini berkat bantuan, dorongan dari guru mata pelajaran Sejarah
Indonesia, Orang Tua serta rekan – rekan kelas XII Mutimedia 1.
Selanjutnya penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan
ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya Makalah
Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”) ini. Makalah Sejarah
Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”) ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi penyusun khusunya dan bagi pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI
·
Kata Pengantar.............................................................................. 1
·
Daftar Isi........................................................................................ 2
·
BAB 1 (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang.......................................................................... 3
B. Tujuan....................................................................................... 3
C. Manfaat..................................................................................... 3
·
BAB 2 (ISI)
A. Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda..................................... 4
B. Beberapa Peristiwa Penting Pada Masa Kerja
Kabinet............. 5
C. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 1).................................... 8
D. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 2).................................... 8
E. Partai Politik Pada Masa Kabinet Djuanda............................... 9
·
BAB 3 (PENUTUP)
A. Kesimpulan............................................................................... 10
B. Saran......................................................................................... 10
·
Daftar Pustaka............................................................................... 11
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabinet Djuanda adalah salah satu
Kabinet yang ada pada masa Pemerintahan Parlementer.
Kabinet ini merupakan kabinet yang dipilih juga
oleh Ir. Soekarno.
Terbentuknya kabinet
ini dalam keadaan yanag tidak menggembirakan karena pada saat itu Presiden
menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Bahaya karena partai politik melakukan “dagang
sapi” untuk merebut kekuasaan.
Sejak terjadinya perebutan kekuasan
itu maka Soekarno membentuk kabinet ini dengan menggunakan “Zaken Kabinet”.
Zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam
bidangnya masing-masing. Zaken kabinet juga dibentuk dengan alasan lain yaitu
karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS
1950.
Berdasarkan uraian di atas
maka penyusun mencoba untuk menggali lebih jauh tentang apa saja yang ada pada Kabinet
Djuanda.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui
Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda
2. Untuk mengetahui
Peristiwa-peristiwa penting Kabinet Djuanda
3. Untuk mengetahui
Faktor Runtuhnya Kabinet Djuanda
4. Untuk mengetahui
Partai politik dan motifnya dalam Kabinet Djuanda
C. Manfaat
1. Bagi penyusun :
a. Menambah wawasan
tentang Kabinet Djuanda
b. Mendapatkan
pencapaian nilai tugas Sejarah dengan baik.
c. Dapat berbagi
pengetahuan atau wawasan.
2. Bagi masyarakat
umum:
a. Mengetahui salah
satu Kabinet yang ada di Indonesia ini.
b. Mempelajari
kesalahan yang ada dalam Kabinet Djuanda agar tidak terjadi kesalahan yang sama
dalam Kabinet masa reformasi sekarang ini
BAB II
ISI
A. Proses Terbentuknya
Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda disebut juga Kabinet
Karya karna dibentuk bukan berdasarkan pertimbangan politis
kepartaian. Kabinet ini juga disebut Kabinet Kerja Darurat Ekstra Parlementer. Istilah “darurat” dilekatkan mengingat kabinet ini
dibentuk oleh presiden Soekarno berlandaskan pemberlakuan “keadaan perang dan
darurat perang” (SOB) pada waktu itu.
Pada awal tahun 1957, tepatnya pada bulan Januari
1957, ketegangan politik bangsa kian memuncak ketika terjadi pengunduran diri
beberapa menteri dari kabinet Ali II. Peristiwa ini berlangsung antara tanggal
9 hingga 15 Januari 1957. Ide untuk melakukan reshuffle memang sempat
mengemuka, akan tetapi presiden tidak mengaktualisasikannya karena dipandang
tidak dapat menjamin stabilitas pemerintahan dan keselamatan negara. Hingga
pada akhirnya, kabinet menyerahkan mandatnya kepada presiden tertanggal 14
Maret 1957. (Sandra, 2007:114).
Sebelum kabinet menyerahkan mandatnya kepada presiden,
sebenarnya telah beredar isu di kalangan masyarakat yakni konsep “Konsepsi
Presiden”, yang menyatakan suatu gagasan mengenai rencana pembentukan kabinet
gotong royong. Pada akhirnya gagasan tersebut terrealisasi pada tanggal 9 April
1957 dengan nama Kabinet Karya dan dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda.
(Sandra, 2007:114). Kabinet ini banyak berisikan para ahli, yang meskipun
sebagian anggota partai tetapi pengangkatannya tidak terikat oleh atau melalui
partai. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tindakan Presiden
inkonstitusional (tidak menurut UUD). Bahkan Masyumi menentang tindakan
tersebut dengan memecat salah seorang anggotanya yang mau diangkat menjadi
menteri dalam Kabinet Karya. Sementara tokoh-tokoh PNI maupun NU menyatakan
bahwa keadaannya tengah gawat (darurat). Bung Hatta sendiri juga menganggap
bahwa tindakan Presiden inkonstitusional. Presiden memang berwenang menunjuk
formatur, tetapi dengan pengertian, yang menjadi formatur tidak boleh sama
dengan orang yang menjabat Presiden. (Moedjanto, 1992:103).
Bagaimanapun penilaian orang, Kabinet Karya harus
tetap menjalankan fungsinya sebagaimana yang telah ditetapkan presiden pada
saat pembentukannya. Dapat dipahami bahwa kabinet yang baru ini bukan kepalang
berat tanggungan yang harus dipikul. Usaha-usaha berat pun harus dilakukan guna
mengatasi segala kesulitan yang berkecamuk di tengah-tengah masyarakat. Adapun
program kabinet yang disusun Presiden, antara lain sebagai berikut :
1. Membentuk Dewan Nasional (sesuai
dengan konsepsi Presiden) dan sejak Juni 1957 membentuk Depernas (Departemen
Penerangan Nasional);
2. Normalisasi keadaan RI;
3. Melanjutkan pelaksanaan pembatalan
KMB;
4. Perjuangan Irian Barat;
5. Mempercepat pembangunan. (Moedjanto,
1992:104).
Semasa pemerintahan Djuanda dengan
perekonomian yang bersifat terpimpin ini, instrumen ekspor berupa sertifikat
pendorong ekspor (SPE) diganti/disederhanakan menjadi bukti ekspor (BE). Dalam
bulan Desember 1957, dilakukan pengambilalihan (nasionalisasi)
perusahaan-perusahaan Belanda.
Kedudukan Kabinet Karya saat itu memegang andil yang
cukup besar bagi perkembangan kenegaraan di Indonesia, meskipun hanya bertahan
selama 2 tahun saja. Pada masanya, banyak peristiwa yang turut menentukan
kedudukan negara dan masyarakat Indonesia di kemudian hari, baik yang
menyangkut sistem pemerintahan dan demokrasi maupun perjuangan menghaapi
Belanda. Akan tetapi, kedudukan Kabinet Karya sendiri sebetulnya berada di
persimpangan jalan. Artinya, sebagai suatu kabinet extra parlementer,
kedudukannya memang kuat karena paelrmene tidak bisa menjatuhkannya. Namun,
kedudukan tersebut tidak lantas membuatnya berada dalam posisi “aman” karena
adanya peranan Presiden yang besar dan menentukan. Presiden dapat mengubah
susunan kabinet jika dipandangnya perlu. Bahkan Presiden dengan kedudukannya
yang baru sebagai Ketua Dewan Nasional -dibentuk pada bulan Mei 1957-
memperoleh saluran resmi untuk memaksa kabinet menyetujui kehendaknya. Terlebih
Kabinet Karya sendiri dibentuk atas dasar Undang-Undang Keadaan Darurat.
(Moedjanto, 1992:104).
Kendati telah
diwarisi rumusan rencana lima tahun oleh kabinet Ali II, bahkan disusun dengan
pelaksanaan Musyawarah Nasioan l Perencanaan (Munap) pada bulan November 1957,
namun kabinet ini tak dapat berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi.
Penyebabnya adalah karena situasi itu lebih menuntut perhatian pada upaya
pembalian wilayah Irian Barat.
Demikianlah situasi politik di
tanah air sampai dengan menjelang tahun 1960. sesudah 1959 sampai dengan 1965,
keputusan – keputusan politik tetap mendominasi warna kebijakan – kebijakan
ekonomi.
Dalam usahanya untuk menormalisasi keadaan sosial
politik Indonesia, Kabinet karya menyelenggarakan Musyawarah Nasional di
Jakarta pada bulan September 1957. Munas ini dihadiri oleh wakil-wakil pusat
dan daerah-darah, serta Presiden Soekarno dan mantan Wakil Presiden Hatta. Dalam
Munas tersebut dibahas mengenai hubungan antara pusat dan daerah yang
berangsur-angsur dapat dipulihkan dan menuju satu titik keserasian. (Moedjanto,
1992:105).
B. Beberapa peristiwa penting pada masa kerja Kabinet
1. Perjuangan Irian Barat yang dipimpin oleh pemerinth
dan digiatkan dalam aksi pembebasan Irian Barat. Aksi ini didukung oleh pihak
militer dan alat-alat negara lainnya bersama-sama dengan berbagai organisasi
massa, pemuda, wanita, veteran, ulama, petani, buruh, dan lain-lain. Pada pertengahan
Oktober 1957 dibentuklah suatu panitia dengan nama Panitia Aksi Pembebasan
Irian Barat, yang mempunyai cabang-cabangnya hingga daerah-daerah. Menteri
Penerangan, Soedibjo, yang menjabat sebagai ketua Panitia Pembebasan Irian
Barat pada tanggal 1 Desember 1957, dengan pengesahan Kabinet Karya,
menginstruksikan kepada segenap kaum buruh yang tergabung dalam
organisasi-organisasi buruh pada perusahaan-perusahaan Belanda untuk mengadakan
aksi mogok total pada tanggal 2 Desember 1957 selama 1 hari penuh. Imbas dari
mogok kerja tersebut adalah serangkaian aksi pengambilalihan
perusahaan-perusahaan Belanda yang berlangsung antara tanggal 3 hingga 13 Desember 1957. (Sandra,
2007:115).
2. Pendirian “Gerakan Perjuangan
Menyelamatkan Negara Republik Indonesia” pada tanggal 10 Februari 1958 dengan
Husein sebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah “menuju Indonesia yang adil
dan makmur”. Gerakan tersebut mengirimkan ultimatum kepada Kabinet Karya yang
berisi :
a. Pembubaran Kabinet Karya dan
pembentukan Kabinet Kerja bercorak nasional di bawah pimpinan Hatta-Hamengku
Buwana.
b. Presiden supaya kembali ke
kedudukannya yang konstitusional.
c. Tuntutan supaya dipenuhi dalam waktu
5x24 jam, bila ditolak akan mengambil gerakan sendiri.
Kabinet
Karya dengan tegas menolak ultimatum tersebut dan menjawabnya dengan memecat
perwira-perwira AD yang terlibat langsung seperti Husein, Simbolon, Jambek, dan
Lubis. (Moedjanto, 1992:106).
3. Pendirian “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia”
(PRRI) tepat setelah berakhirnya masa berlaku ultimatum “Gerakan Perjuangan
Menyelamatkan Negara Republik Indonesia”. PRRI dipimpin oleh Syafrudin
Prawiranegara -mantan Presiden PDRI- dan berkedudukan di Bukittinggi. Sepak
terjang PRRI makin mengIndonesia ketika Permesta pada hari berikutnya mendukung
dan bergabung dengan PRRI, sehingga gerakan mereka disebut dengan
PRRI-Permesta. Permesta berpusat di Manado, bermarkas di Markas Dewan Manguni
yang didirikan pada tanggal 17 Februari 1958 di bawah pimpinan Mayor Somba.
(Moedjanto, 1992:106).
4. Perjuangan pembebasan Irian Jaya dan
penyatuannya ke dalam wilayah NKRI sebenarnya telah memberi kesadaran akan
perjuangan pembentukan keutuhan wilayah negara. Kesadaran ini nampaknya turut
mendorong Kabinet Karya untuk menentukan batas wilayah perairan atau laut
teritorial Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil, dihitung dari garis pantai pada
waktu air laut surut. Berikut kutipan Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah
Perairan Negara Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 13 Desember
1957 oleh Perdana Menteri Djuanda,
Dengan menteri, dalam sidangnya pada
hari Jum’at tanggal 13 Desember 1957 membicarakan soal wilayah perairan Negara
Republik Indonesia.
Bentuk geografi Indonesia sebagai
suatu Negara kepulauan yang terdiri dari (berribu-ribu) pulau mempunyai sifat
dan corak tersendiri.
Bagi keutuhan teritorial dan untuk
melindungi kekayaan Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut
terletak di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat.
Penentuan batas lautan teritorial
seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie
1939” Staatblaad 1939 No. 442) artikel 1 ayat (1) tidak lagi sesuai dngan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan
Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.
Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan itu maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan
di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara
Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian
bagian daripada wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di bawah kedaulatan
mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalam ini bagi
kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas lautan territorial
(yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung
terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas
akan selekas-lekasnya dengan undang-undang.
Pendirian pemerintah tersebut akan
diperhatikan dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lauan yang
akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa.
Jakarta, 13 Desember 1957.
Perdana Menteri
ttd.
H. Djuanda.
(dikutip dari Hamzah, 1988:129)
Selain
keempat peristiwa besar dan penting pada masa kerja Kabinet Karya tersebut,
dalam melaksanakan program pembangunan Indonesia, Kabinet Karya memang
mengalami banyak kesukaran terutama dalam hal pembiayaan. Kesulitan ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Biaya menumpas pemberontakan
PRRI-PERMESTA begitu besar (sampai pertengahan 1958 mencapai lebih dari Rp
5.000.000,00);
2. Kekurangan penerimaan karena sistem
ekonomi barter dan merebaknya penyelundupan;
3. Defisit penerimaan yang begitu
besar. Pada tahun 1958 kurang lebih Rp 9.500.000,00 ; tahun 1958 Rp
7.911.000,00 ; sehingga berakibat inflasi karena pemerintah hanya mampu
menutupinya dengan uang muka (pinjaman) dari Bank Indonesia.
4. Disiplin ekonomi masyarakat memang
masih kurang.
Kabinet Karya juga mengadakan pembangunan di berbagai
bidang, misalnya pembukaan tanah pertanian di Sumatera Selatan dan penyelidikan
berbagai daerah untuk transmigrasi. Untuk memajukan pertanian, berbagai waduk
pun dibangun misalnya waduk Cacaban di dekat Tegal, dan waduk Tabalong dan
Balangan di Kalimantan Selatan. (Moedjanto, 1992:111). Selain itu, dalam usaha
melindungi pengusaha-pengusaha kecil bangsa Indonesia, petani, koperasi dan
konsumen, Menteri Perdagangan Rachmat Mulyomiseno mengeluarkan Surat Keputusan
tertanggal 14 Mei 1959, yang isinya melarang orang asing berdagang eceran di
kota-kota kecil atau pedesaan. Dalam bulan November 1959 Keputusan Menteri Perdagangan
tesebut ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959 yang
kemudian diikuti oleh peraturan Kodam VI Siliwangi yang mengharuskan
orang-orang asing pindah ke kota demi keamanan. (Moedjanto, 1992:111).
Deklarasi Djuanda
Deklarasi
Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda
Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah
termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu
kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah
negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaituTeritoriale
Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).
Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara
dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di
sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan
bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa
Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State)
yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga
laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan
bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960
tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda
2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian
Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara
internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis
batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali
Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang
penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya
dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982
(United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).
Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985
tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman
Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.[2] Penetapan
hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan
menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara,
sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1. Bahwa Indonesia
menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu
kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi
1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
a. Untuk mewujudkan
bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
b. Untuk menentukan
batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan
c. Untuk mengatur lalu
lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
C. Berakhirnya
Kabinet Djuanda (Versi 1)
Berakhirnya masa kerja Kabinet Karya berawal dari
diterimanya gagasan “kembali ke UUD 1945” pada tanggal 19 Februari 1959 yang
digelontorkan Nasution dalam konferensi Komando Daerah Militer pada bulan yang
sama. Menurut putusan sidang Kabinet Karya pada tanggal 19 Februari 1959,
Presiden akan menyampaikan amanat kepada Konstituante berisi permintaan agar
UUD 1945 diundangkan kembali. Merujuk pada UUDS 1950, untuk mengambil keputusan
dalam suatu kasus, minimal dua pertiga anggota Konstituante harus menghadiri
sidang, dan dua pertiga dari mereka itu memberikan suara setuju. Akan tetapi
sampai tiga kali Konstituante mengadakan pemungutan suara, ternyata mayoritas
yang diperlukan tidak pernah tercapai, sehingga banyak anggota yang tidak mau
lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante. Pihak yang pro bersama pihak
militer kemudian mendesak Presiden Soekarno untuk mengundangkan kembali UUD
1945 dengan dekrit. Dekrit Presiden yang disampaikan tanggal 5 Juli 1959 berisi
:
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Pemakluman bahwa pembentukan MPRS
dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. (Moedjanto,
1992:114).
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka
sistem demokrasi liberal Indonesia berganti dengan demokrasi terpimpin. Kabinet
Karya pun dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet Kerja.
D. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 2)
Sesudah pemimpin pusat terlepas dari krisis perpecahan
negara dan bangsa, rakyat Indonesia mengalami lagi masa-masa yang menentukan
mati hidupnya negara kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi PM Juanda dan
Kabinetnya menghadapi pertentangan politik dan ideologi. Kali ini dalam
konstituante. Pertentangan ini merambat masuk kedalam masyarakat dan menambah
ketegangan-ketegangan.
Wakil-wakil rakyat yang telah bersidang sejak 10
November 1956 sampai Januari 1959, mengalami masalah yang sulit yaitu terutama
dalam hal yang sangat prinsip yaitu ideologi negara. Dua setengah tahun lamanya
perdebatan sengit berlangsung dalam konstituante, pers, dan mayarakat tentang
hal ini. Kemudian Presiden Soekarno muncul dengan konsepsinya disusul dengan
gagasan Demokrasi Terpimpin. Tapi masih timbul masalah cara apa yang akan
ditempuh untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kontituantepun menghadapi
jalan buntu karena soal dasar negara tidak dapat dipecahkan. Dan sesuai pasal
134 UUD sementara tugas pembentukan UUD baru dibebankan pada Konstituante
bersama-sama Pemerintah.Karena Kontituante tidak berhasil membuat UUD1945, hal
ini disetujui berbagai kalangan. Bahkan, Angkatan bersenjatapun menyetujuinya
(Poeponegoro 1984:281-283).
Presiden telah mengemukakan konsepsinya diikuti oleh
demokrasi terpimpin. Konsepsi Pemerintah terdapat dalam Keterangan Pemerintah
tentang program Kabinet Karya yang dikemukakan PM Djuanda di depan DPR pada
tangal 17 Mei 1957 berjudul Rintisan Normalisasi Keadaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kedua konsepsi ini berjiwa dan bersemangat Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan mempelajari bahan-bahan ini secara
mendalam, PM Djuanda tiba pada konklusi bahwa pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
harus dilaksanakan dalam rangka kembali ke UUD 1945. Ide ini disetujui oleh
presiden dan diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 (Rauf
2001: 123).
Untuk merealisasi gagasan tersebut pada tanggal 5 Juli
1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Dengan diumumkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka bangsa Indonsia kembali ke UUD 1945, sedangkan UUDS
tidak berlaku lagi. Perubahan dalam hal UUD dan adanya penerapan sistem
Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 memberikan pengaruh dan
perubahan yang besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem
parlementer yang selama ini dipakai oleh bangsa Indonesia diganti dengan sistem
presidensil. Secara otomatis dengan adanya perubahan sistem ini maka presiden
akan berperan sebagai kepala Pemerintahan disamping sebagai kepala negara,
sehingga Perdana Menteri tidak perlu ada lagi. Maka, Senin tanggal 6 Juli 1959
sehari setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Juanda dan Kabinet
Karya mengembalikan mandat kepada Presiden. Dengan begitu maka berakhirlah masa
Kabinet Djuanda (Rauf 2001:124-126).
Suatu periode yang berat telah dilewatinya. Sekalipun
program kerjanya belum seratus persen berhasil tetapi Kabinet ini telah cukup
berjasa dalam membangun bangsa ini. Hasil kerjanya contohnya: telah
diselesaikan UU Keadaan Bahaya menggantikan SOB, UU wajib militer, Veteran
Pejuang Republik Indonesia (VPRI), UU Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan
Pampasan Perang dengan Jepang, UU Penanaman Modal Asing, UU Pembatalan Hak
Penambangan, UU Dewan Perancang Nasional, UU Pembangunan Lima Tahun, UU
Perkumpulan Koperasi, UU Bank Tani dan Nelayan, dsb-nya (Kansil 1994:190).
E. Partai politik pada masa kabinet
djuanda
Presiden Soekarno menunjuk anggota-anggota kabinet
Djoeanda yang terutama berasal dari partai-partai PNI, NU, Parkindo, Partindo
dan lain-lain tanpa melobby pimpinan partai-partai terkait. Selain itu banyak
sekali orang-orang non-partai, seperti Djoeanda Kartawidajaja, Soebandrio,
Prijono, Muhammad Yamin dll. yang ditunjuk duduk dalam kabinet. Karena
pembentuk kabinet adalah Soekarno sendiri, jadi secara langsung Soekarno-lah
Perdana Menterinya dan sebenarnya dalam kesehariannya Perdana Menteri adalah
Djoeanda maka Presiden menamakan jabatan tsb. "Menteri Utama".
(Catatan ; Pada banyak artikel di web Djoeanda selalu disebut "Perdana
Menteri" yang sebenarnya tidak betul.)
Partai-partai Masyumi, PSI dll. menentang kabinet ini,
walaupun ada juga simpatisan / anggotanya dalam kabinet, seperti Ir. Pangeran
Muhammad Noor (Menteri PU) yang mengatakan bahwa dia di kabinet tidak sebagai
orang Masyumi tapi orang Muhammadiyah)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembuatan makalah yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. Kurun waktu
berkuasa Kabinet Djuanda tidak terlalu lama
2. Adanya 21 Menteri
dalam susunan jabatan Kabinet Djuanda
3. Adanya program
kerja yang dilakukan Kabinet Djuanda
4. Terdapat
keberhasilan yang dicapai Kabinet Djuanda
5. Penyebab jatuhnya
Kabinet Djuanda adalah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
B. Saran
Dalam Kabinet Djuanda banyak
keberhasilan yang dicapai karena Ir. Djuanda bisa mengatur posisi dalam
mengambil keputusan. Kabinet Djuanda dalam menganbil keputusan melalui
musyawarah yang pada saat itu dinamakan MuNas (Musyawarah Nasional) dan telah
berganti nama menjadi MuNaP (Musyawarah Nasional Pembangunan).
Jadi sebaiknya dalam mengambil
keputusan apapun yang melibatkan masyarakat luas harus melewati musyawarah agar
tidak ada kesalahpahaman antar masyarakat dengan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Comments
Post a Comment