MAKALAH KABINET ZAKEN





Bila Kalian ingin makalah ini berbentuk Microsoft kalain tinggal downlaod aja disini


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”).
Makalah Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”) ini dibuat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Tersusunnya Makalah Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”) ini berkat bantuan, dorongan dari guru mata pelajaran Sejarah Indonesia, Orang Tua serta rekan – rekan kelas XII Mutimedia 1.
Selanjutnya penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya Makalah Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”) ini. Makalah Sejarah Indonesia (Kabinet Djuanda “Zaken Kabinet”) ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penyusun khusunya dan bagi pembaca pada umumnya.

















DAFTAR ISI
·        Kata Pengantar.............................................................................. 1
·        Daftar Isi........................................................................................ 2
·        BAB 1 (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang.......................................................................... 3
B. Tujuan....................................................................................... 3
C. Manfaat..................................................................................... 3
·        BAB 2 (ISI)
A. Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda..................................... 4
B. Beberapa Peristiwa Penting Pada Masa Kerja Kabinet............. 5
C. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 1).................................... 8
D. Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 2).................................... 8
E. Partai Politik Pada Masa Kabinet Djuanda............................... 9
·        BAB 3 (PENUTUP)
A. Kesimpulan............................................................................... 10
B. Saran......................................................................................... 10
·        Daftar Pustaka............................................................................... 11























BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kabinet Djuanda adalah salah satu Kabinet yang ada pada masa Pemerintahan Parlementer. Kabinet ini merupakan kabinet yang dipilih juga oleh Ir. Soekarno.
Terbentuknya kabinet ini dalam keadaan yanag tidak menggembirakan karena pada saat itu Presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya. Bahaya karena partai politik melakukan “dagang sapi” untuk merebut kekuasaan.
Sejak terjadinya perebutan kekuasan itu maka Soekarno membentuk kabinet ini dengan menggunakan “Zaken Kabinet”. Zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya masing-masing. Zaken kabinet juga dibentuk dengan alasan lain yaitu karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950.
            Berdasarkan uraian di atas maka penyusun mencoba untuk menggali lebih jauh tentang apa saja yang ada pada Kabinet Djuanda.

B.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda
2.      Untuk mengetahui Peristiwa-peristiwa penting Kabinet Djuanda
3.      Untuk mengetahui Faktor Runtuhnya Kabinet Djuanda
4.      Untuk mengetahui Partai politik dan motifnya dalam Kabinet Djuanda

C.  Manfaat
1.      Bagi penyusun :
a.       Menambah wawasan tentang Kabinet Djuanda
b.      Mendapatkan pencapaian nilai tugas Sejarah dengan baik.
c.       Dapat berbagi pengetahuan atau wawasan.
2.      Bagi masyarakat umum:
a.       Mengetahui salah satu Kabinet yang ada di Indonesia ini.
b.      Mempelajari kesalahan yang ada dalam Kabinet Djuanda agar tidak terjadi kesalahan yang sama dalam Kabinet masa reformasi sekarang ini




BAB II
ISI

A.    Proses Terbentuknya Kabinet Djuanda

Kabinet Djuanda disebut juga Kabinet Karya karna dibentuk bukan berdasarkan pertimbangan politis kepartaian. Kabinet ini juga disebut Kabinet Kerja Darurat Ekstra Parlementer. Istilah “darurat” dilekatkan mengingat kabinet ini dibentuk oleh presiden Soekarno berlandaskan pemberlakuan “keadaan perang dan darurat perang” (SOB) pada waktu itu.
Pada awal tahun 1957, tepatnya pada bulan Januari 1957, ketegangan politik bangsa kian memuncak ketika terjadi pengunduran diri beberapa menteri dari kabinet Ali II. Peristiwa ini berlangsung antara tanggal 9 hingga 15 Januari 1957. Ide untuk melakukan reshuffle memang sempat mengemuka, akan tetapi presiden tidak mengaktualisasikannya karena dipandang tidak dapat menjamin stabilitas pemerintahan dan keselamatan negara. Hingga pada akhirnya, kabinet menyerahkan mandatnya kepada presiden tertanggal 14 Maret 1957. (Sandra, 2007:114).
Sebelum kabinet menyerahkan mandatnya kepada presiden, sebenarnya telah beredar isu di kalangan masyarakat yakni konsep “Konsepsi Presiden”, yang menyatakan suatu gagasan mengenai rencana pembentukan kabinet gotong royong. Pada akhirnya gagasan tersebut terrealisasi pada tanggal 9 April 1957 dengan nama Kabinet Karya dan dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda. (Sandra, 2007:114). Kabinet ini banyak berisikan para ahli, yang meskipun sebagian anggota partai tetapi pengangkatannya tidak terikat oleh atau melalui partai. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tindakan Presiden inkonstitusional (tidak menurut UUD). Bahkan Masyumi menentang tindakan tersebut dengan memecat salah seorang anggotanya yang mau diangkat menjadi menteri dalam Kabinet Karya. Sementara tokoh-tokoh PNI maupun NU menyatakan bahwa keadaannya tengah gawat (darurat). Bung Hatta sendiri juga menganggap bahwa tindakan Presiden inkonstitusional. Presiden memang berwenang menunjuk formatur, tetapi dengan pengertian, yang menjadi formatur tidak boleh sama dengan orang yang menjabat Presiden. (Moedjanto, 1992:103).
Bagaimanapun penilaian orang, Kabinet Karya harus tetap menjalankan fungsinya sebagaimana yang telah ditetapkan presiden pada saat pembentukannya. Dapat dipahami bahwa kabinet yang baru ini bukan kepalang berat tanggungan yang harus dipikul. Usaha-usaha berat pun harus dilakukan guna mengatasi segala kesulitan yang berkecamuk di tengah-tengah masyarakat. Adapun program kabinet yang disusun Presiden, antara lain sebagai berikut :
1.    Membentuk Dewan Nasional (sesuai dengan konsepsi Presiden) dan sejak Juni 1957 membentuk Depernas (Departemen Penerangan Nasional);
2.    Normalisasi keadaan RI;
3.    Melanjutkan pelaksanaan pembatalan KMB;
4.    Perjuangan Irian Barat;
5.    Mempercepat pembangunan. (Moedjanto, 1992:104).
Semasa pemerintahan Djuanda dengan perekonomian yang bersifat terpimpin ini, instrumen ekspor berupa sertifikat pendorong ekspor (SPE) diganti/disederhanakan menjadi bukti ekspor (BE). Dalam bulan Desember 1957, dilakukan pengambilalihan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda.
Kedudukan Kabinet Karya saat itu memegang andil yang cukup besar bagi perkembangan kenegaraan di Indonesia, meskipun hanya bertahan selama 2 tahun saja. Pada masanya, banyak peristiwa yang turut menentukan kedudukan negara dan masyarakat Indonesia di kemudian hari, baik yang menyangkut sistem pemerintahan dan demokrasi maupun perjuangan menghaapi Belanda. Akan tetapi, kedudukan Kabinet Karya sendiri sebetulnya berada di persimpangan jalan. Artinya, sebagai suatu kabinet extra parlementer, kedudukannya memang kuat karena paelrmene tidak bisa menjatuhkannya. Namun, kedudukan tersebut tidak lantas membuatnya berada dalam posisi “aman” karena adanya peranan Presiden yang besar dan menentukan. Presiden dapat mengubah susunan kabinet jika dipandangnya perlu. Bahkan Presiden dengan kedudukannya yang baru sebagai Ketua Dewan Nasional -dibentuk pada bulan Mei 1957- memperoleh saluran resmi untuk memaksa kabinet menyetujui kehendaknya. Terlebih Kabinet Karya sendiri dibentuk atas dasar Undang-Undang Keadaan Darurat. (Moedjanto, 1992:104).
Kendati telah diwarisi rumusan rencana lima tahun oleh kabinet Ali II, bahkan disusun dengan pelaksanaan Musyawarah Nasioan l Perencanaan (Munap) pada bulan November 1957, namun kabinet ini tak dapat berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi. Penyebabnya adalah karena situasi itu lebih menuntut perhatian pada upaya pembalian wilayah Irian Barat.
Demikianlah situasi politik  di tanah air sampai dengan menjelang tahun 1960. sesudah 1959 sampai dengan 1965, keputusan – keputusan politik tetap mendominasi warna kebijakan – kebijakan ekonomi.
Dalam usahanya untuk menormalisasi keadaan sosial politik Indonesia, Kabinet karya menyelenggarakan Musyawarah Nasional di Jakarta pada bulan September 1957. Munas ini dihadiri oleh wakil-wakil pusat dan daerah-darah, serta Presiden Soekarno dan mantan Wakil Presiden Hatta. Dalam Munas tersebut dibahas mengenai hubungan antara pusat dan daerah yang berangsur-angsur dapat dipulihkan dan menuju satu titik keserasian. (Moedjanto, 1992:105).
B.     Beberapa peristiwa penting pada masa kerja Kabinet
1.    Perjuangan Irian Barat yang dipimpin oleh pemerinth dan digiatkan dalam aksi pembebasan Irian Barat. Aksi ini didukung oleh pihak militer dan alat-alat negara lainnya bersama-sama dengan berbagai organisasi massa, pemuda, wanita, veteran, ulama, petani, buruh, dan lain-lain. Pada pertengahan Oktober 1957 dibentuklah suatu panitia dengan nama Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat, yang mempunyai cabang-cabangnya hingga daerah-daerah. Menteri Penerangan, Soedibjo, yang menjabat sebagai ketua Panitia Pembebasan Irian Barat pada tanggal 1 Desember 1957, dengan pengesahan Kabinet Karya, menginstruksikan kepada segenap kaum buruh yang tergabung dalam organisasi-organisasi buruh pada perusahaan-perusahaan Belanda untuk mengadakan aksi mogok total pada tanggal 2 Desember 1957 selama 1 hari penuh. Imbas dari mogok kerja tersebut adalah serangkaian aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang berlangsung antara tanggal  3 hingga 13 Desember 1957. (Sandra, 2007:115).
2.      Pendirian “Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia” pada tanggal 10 Februari 1958 dengan Husein sebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah “menuju Indonesia yang adil dan makmur”. Gerakan tersebut mengirimkan ultimatum kepada Kabinet Karya yang berisi :
a.       Pembubaran Kabinet Karya dan pembentukan Kabinet Kerja bercorak nasional di bawah pimpinan Hatta-Hamengku Buwana.
b.      Presiden supaya kembali ke kedudukannya yang konstitusional.
c.       Tuntutan supaya dipenuhi dalam waktu 5x24 jam, bila ditolak akan mengambil gerakan sendiri.
Kabinet Karya dengan tegas menolak ultimatum tersebut dan menjawabnya dengan memecat perwira-perwira AD yang terlibat langsung seperti Husein, Simbolon, Jambek, dan Lubis. (Moedjanto, 1992:106).
3.   Pendirian “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) tepat setelah berakhirnya masa berlaku ultimatum “Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia”. PRRI dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara -mantan Presiden PDRI- dan berkedudukan di Bukittinggi. Sepak terjang PRRI makin mengIndonesia ketika Permesta pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI, sehingga gerakan mereka disebut dengan PRRI-Permesta. Permesta berpusat di Manado, bermarkas di Markas Dewan Manguni yang didirikan pada tanggal 17 Februari 1958 di bawah pimpinan Mayor Somba. (Moedjanto, 1992:106).
4.     Perjuangan pembebasan Irian Jaya dan penyatuannya ke dalam wilayah NKRI sebenarnya telah memberi kesadaran akan perjuangan pembentukan keutuhan wilayah negara. Kesadaran ini nampaknya turut mendorong Kabinet Karya untuk menentukan batas wilayah perairan atau laut teritorial Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil, dihitung dari garis pantai pada waktu air laut surut. Berikut kutipan Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda,

Dengan menteri, dalam sidangnya pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 1957 membicarakan soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia.
Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari (berribu-ribu) pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri.
Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat.
Penentuan batas lautan teritorial seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939” Staatblaad 1939 No. 442) artikel 1 ayat (1) tidak lagi sesuai dngan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalam ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas lautan territorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan selekas-lekasnya dengan undang-undang.
Pendirian pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lauan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa.
Jakarta, 13 Desember 1957.
Perdana Menteri
ttd.

H. Djuanda.

(dikutip dari Hamzah, 1988:129)

Selain keempat peristiwa besar dan penting pada masa kerja Kabinet Karya tersebut, dalam melaksanakan program pembangunan Indonesia, Kabinet Karya memang mengalami banyak kesukaran terutama dalam hal pembiayaan. Kesulitan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1.      Biaya menumpas pemberontakan PRRI-PERMESTA begitu besar (sampai pertengahan 1958 mencapai lebih dari Rp 5.000.000,00);
2.      Kekurangan penerimaan karena sistem ekonomi barter dan merebaknya penyelundupan;
3.      Defisit penerimaan yang begitu besar. Pada tahun 1958 kurang lebih Rp 9.500.000,00 ; tahun 1958 Rp 7.911.000,00 ; sehingga berakibat inflasi karena pemerintah hanya mampu menutupinya dengan uang muka (pinjaman) dari Bank Indonesia.
4.      Disiplin ekonomi masyarakat memang masih kurang.
Kabinet Karya juga mengadakan pembangunan di berbagai bidang, misalnya pembukaan tanah pertanian di Sumatera Selatan dan penyelidikan berbagai daerah untuk transmigrasi. Untuk memajukan pertanian, berbagai waduk pun dibangun misalnya waduk Cacaban di dekat Tegal, dan waduk Tabalong dan Balangan di Kalimantan Selatan. (Moedjanto, 1992:111). Selain itu, dalam usaha melindungi pengusaha-pengusaha kecil bangsa Indonesia, petani, koperasi dan konsumen, Menteri Perdagangan Rachmat Mulyomiseno mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 14 Mei 1959, yang isinya melarang orang asing berdagang eceran di kota-kota kecil atau pedesaan. Dalam bulan November 1959             Keputusan Menteri Perdagangan tesebut ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959 yang kemudian diikuti oleh peraturan Kodam VI Siliwangi yang mengharuskan orang-orang asing pindah ke kota demi keamanan. (Moedjanto, 1992:111).

Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaituTeritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.[2] Penetapan hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
1.        Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
2.        Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3.        Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah
Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
a.       Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
b.      Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan
c.       Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI.
C.    Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 1)
Berakhirnya masa kerja Kabinet Karya berawal dari diterimanya gagasan “kembali ke UUD 1945” pada tanggal 19 Februari 1959 yang digelontorkan Nasution dalam konferensi Komando Daerah Militer pada bulan yang sama. Menurut putusan sidang Kabinet Karya pada tanggal 19 Februari 1959, Presiden akan menyampaikan amanat kepada Konstituante berisi permintaan agar UUD 1945 diundangkan kembali. Merujuk pada UUDS 1950, untuk mengambil keputusan dalam suatu kasus, minimal dua pertiga anggota Konstituante harus menghadiri sidang, dan dua pertiga dari mereka itu memberikan suara setuju. Akan tetapi sampai tiga kali Konstituante mengadakan pemungutan suara, ternyata mayoritas yang diperlukan tidak pernah tercapai, sehingga banyak anggota yang tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante. Pihak yang pro bersama pihak militer kemudian mendesak Presiden Soekarno untuk mengundangkan kembali UUD 1945 dengan dekrit. Dekrit Presiden yang disampaikan tanggal 5 Juli 1959 berisi :
1.      Pembubaran Konstituante.
2.      Berlakunya kembali UUD 1945.
3.      Pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. (Moedjanto, 1992:114).
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka sistem demokrasi liberal Indonesia berganti dengan demokrasi terpimpin. Kabinet Karya pun dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet Kerja.
D.    Berakhirnya Kabinet Djuanda (Versi 2)
Sesudah pemimpin pusat terlepas dari krisis perpecahan negara dan bangsa, rakyat Indonesia mengalami lagi masa-masa yang menentukan mati hidupnya negara kesatuan Republik Indonesia. Sekali lagi PM Juanda dan Kabinetnya menghadapi pertentangan politik dan ideologi. Kali ini dalam konstituante. Pertentangan ini merambat masuk kedalam masyarakat dan menambah ketegangan-ketegangan.
Wakil-wakil rakyat yang telah bersidang sejak 10 November 1956 sampai Januari 1959, mengalami masalah yang sulit yaitu terutama dalam hal yang sangat prinsip yaitu ideologi negara. Dua setengah tahun lamanya perdebatan sengit berlangsung dalam konstituante, pers, dan mayarakat tentang hal ini. Kemudian Presiden Soekarno muncul dengan konsepsinya disusul dengan gagasan Demokrasi Terpimpin. Tapi masih timbul masalah cara apa yang akan ditempuh untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Kontituantepun menghadapi jalan buntu karena soal dasar negara tidak dapat dipecahkan. Dan sesuai pasal 134 UUD sementara tugas pembentukan UUD baru dibebankan pada Konstituante bersama-sama Pemerintah.Karena Kontituante tidak berhasil membuat UUD1945, hal ini disetujui berbagai kalangan. Bahkan, Angkatan bersenjatapun menyetujuinya (Poeponegoro 1984:281-283).
Presiden telah mengemukakan konsepsinya diikuti oleh demokrasi terpimpin. Konsepsi Pemerintah terdapat dalam Keterangan Pemerintah tentang program Kabinet Karya yang dikemukakan PM Djuanda di depan DPR pada tangal 17 Mei 1957 berjudul Rintisan Normalisasi Keadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua konsepsi ini berjiwa dan bersemangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan mempelajari bahan-bahan ini secara mendalam, PM Djuanda tiba pada konklusi bahwa pelaksanaan Demokrasi Terpimpin harus dilaksanakan dalam rangka kembali ke UUD 1945. Ide ini disetujui oleh presiden dan diajukan kepada Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 (Rauf 2001: 123).
Untuk merealisasi gagasan tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Dengan diumumkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka bangsa Indonsia kembali ke UUD 1945, sedangkan UUDS tidak berlaku lagi. Perubahan dalam hal UUD dan adanya penerapan sistem Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 memberikan pengaruh dan perubahan yang besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem parlementer yang selama ini dipakai oleh bangsa Indonesia diganti dengan sistem presidensil. Secara otomatis dengan adanya perubahan sistem ini maka presiden akan berperan sebagai kepala Pemerintahan disamping sebagai kepala negara, sehingga Perdana Menteri tidak perlu ada lagi. Maka, Senin tanggal 6 Juli 1959 sehari setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Juanda dan Kabinet Karya mengembalikan mandat kepada Presiden. Dengan begitu maka berakhirlah masa Kabinet Djuanda (Rauf 2001:124-126).
Suatu periode yang berat telah dilewatinya. Sekalipun program kerjanya belum seratus persen berhasil tetapi Kabinet ini telah cukup berjasa dalam membangun bangsa ini. Hasil kerjanya contohnya: telah diselesaikan UU Keadaan Bahaya menggantikan SOB, UU wajib militer, Veteran Pejuang Republik Indonesia (VPRI), UU Perjanjian Perdamaian dan Persetujuan Pampasan Perang dengan Jepang, UU Penanaman Modal Asing, UU Pembatalan Hak Penambangan, UU Dewan Perancang Nasional, UU Pembangunan Lima Tahun, UU Perkumpulan Koperasi, UU Bank Tani dan Nelayan, dsb-nya (Kansil 1994:190).

E.     Partai politik pada masa kabinet djuanda
Presiden Soekarno menunjuk anggota-anggota kabinet Djoeanda yang terutama berasal dari partai-partai PNI, NU, Parkindo, Partindo dan lain-lain tanpa melobby pimpinan partai-partai terkait. Selain itu banyak sekali orang-orang non-partai, seperti Djoeanda Kartawidajaja, Soebandrio, Prijono, Muhammad Yamin dll. yang ditunjuk duduk dalam kabinet. Karena pembentuk kabinet adalah Soekarno sendiri, jadi secara langsung Soekarno-lah Perdana Menterinya dan sebenarnya dalam kesehariannya Perdana Menteri adalah Djoeanda maka Presiden menamakan jabatan tsb. "Menteri Utama". (Catatan ; Pada banyak artikel di web Djoeanda selalu disebut "Perdana Menteri" yang sebenarnya tidak betul.)
Partai-partai Masyumi, PSI dll. menentang kabinet ini, walaupun ada juga simpatisan / anggotanya dalam kabinet, seperti Ir. Pangeran Muhammad Noor (Menteri PU) yang mengatakan bahwa dia di kabinet tidak sebagai orang Masyumi tapi orang Muhammadiyah)



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembuatan makalah yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Kurun waktu berkuasa Kabinet Djuanda tidak terlalu lama
2.      Adanya 21 Menteri dalam susunan jabatan Kabinet Djuanda
3.      Adanya program kerja yang dilakukan Kabinet Djuanda
4.      Terdapat keberhasilan yang dicapai Kabinet Djuanda
5.      Penyebab jatuhnya Kabinet Djuanda adalah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959

B.     Saran
Dalam Kabinet Djuanda banyak keberhasilan yang dicapai karena Ir. Djuanda bisa mengatur posisi dalam mengambil keputusan. Kabinet Djuanda dalam menganbil keputusan melalui musyawarah yang pada saat itu dinamakan MuNas (Musyawarah Nasional) dan telah berganti nama menjadi MuNaP (Musyawarah Nasional Pembangunan).
Jadi sebaiknya dalam mengambil keputusan apapun yang melibatkan masyarakat luas harus melewati musyawarah agar tidak ada kesalahpahaman antar masyarakat dengan pemerintah.








DAFTAR PUSTAKA



Comments

Popular Posts